Selamat datang di Kawasan Penyair Jambi Terima kasih atas kunjungan Anda

Minggu, 14 Oktober 2007

Dimas Arika Mihardja


Dimas Arika Mihardja

(Jambi)

Lahir, di Pesisir Selatan Jogyakarta, 3 Juli 1959 dengan nama Sudaryono, ia mulai menyajak secara intens tahun 1980-an dan membukukan antologi sajak tunggal Sang Guru Sejati (1991), Malin Kundang (1993), Upacara Gerimis (1994), Potret Diri (1997) yang semuanya diterbitkan oleh Bengkel Puisi Swadaya Mandiri. Sebagian besar sajaknya dipublikasikan di media massa local dan nasional, serta dibukukan dalam antologi bersama Riak-Riak Batanghari (Teater Bohemian,1988), Percik Pesona 1 & 2 (Taman Budaya Jambi,1992,1993), Serambi 1,2&3 (Teater Bohemian,1992, 1993, 1994), Rendezvous (1993), Luka Liwa (1993), Pusaran Waktu (1994), Muaro (1995). Negeri Bayang-Bayang (1996), Mimbar Penyair Abad 21, Antologi Puisi Indonesia (1997), Angkatan 2000 (2000), Ketika Jarum Jam Lelah Berdetak (2003). Penyajak yang juga dosen Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi ini telah merampungkan Program Doktor ( S3 ) dengan disertasi Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia (2002). Salah satu Puisinya:

Sajak Ibu Pertiwi

Sajak Ibu Pertiwi

“kulihat ibu pertiwi

sedang berduka hati ….”

dadanya diguncang gempa

hatinya dilanda tsunami

“kulihat ibu pertiwi

sedang berduka hati ….

gempaNya mengguncang dada

tsunamiNya melanda hati

“kulihat ibu pertiwi

sedang berduka hati ….”

dada gempaNya mengguncang sesiapa

hati tsunamiNya melanda apa saja

“kulihat ibu pertiwi

sedang berduka hati ….”

Indonesia bau, begitu kita berseru

Indonesia baru, berseteru melulu

“kulihat ibu pertiwi

sedang berduka hati …. “

bau Indonesia berseruseru

baru Indonesia begitu sendu

“kulihat ibu pertiwi

Sedang berduka hati …. “

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2005


Ballada Musyafir Gila
: arsyad indradi

ada musafir gila
berjalan sepanjang lorong kumuh
memimpikan denyut kehidupan:
puisi penuh keindahan

lihatlah, mantelnya kuyup oleh keringat semangat
padahal mentari di langit begitu menyengat
ia rebah di sofa merah
angin bangkit dan mengusik dengan kerisiknya
ia menyusun lembarlembar hatinya yang remuk
dan menatap tumpahan tinta hitam di lantai rumah
ia terbatuk dan terantuk
tapi gelegaknya berkata serak:
beri aku tuak sajak

hari ini kubuka paket berisi 142 penyair menuju bulan
jaketmu berlumuran darah kata
nafasmu tersengal, tapi kulihat tangan terkepal:
ajal, aku tak mau melayat langit

bengkel puisi swadaya mandiri, 2007-04-02

SEMATA CAHAYA
: anna noor

(menit meniti malam, kau berbisik pelan "tulis puisi untuk aku!"
lalu jemari puisi pun menari di cerlang cahaya
aku sungguh silau dan terpukau oleh kilau mata merindu
pada telapak tangan kurasakan denyut hidup
dan rembulan purnamakan doa-doa semesta)


Dalam gemilang bulan penuh cahaya
jemari menggelinjang sendiri:
menggelepar ditampar misteri Ilahi
Seperti baling-baling berputar
sejarah kembali mendaur ulang ibadah hingga sajadah pun
basah oleh kilau cahaya

Setiap kali berkaca pada bening hati kurasa
dinding-dinding hati bercahaya
baling-baling iman bercahaya
ranting-ranting doa bercahaya
Aku tak kuasa berkata-kata
tapi terasa lidahku cahaya
Bibirku cahaya. Mataku cahaya.
Pikirku cahaya. Rasaku cahaya.
Jiwaku cahaya. Dinding hatiku cahaya.
Keping rinduku cahaya. Lengking cintaku cahaya!

Ya, Allah pencipta bulan penuh cahaya
Akankah Kaupelihara lidah cahaya ini, bibir cahaya ini,
mata cahaya ini, pikir cahaya ini, rasa cahaya ini
jiwa cahaya ini?
Dari hari ke hari kususun batu-batu iman
hingga dinding-dinding hatiku cahaya.
Dari detik ke menit kususun remah kangenku
hingga keping rinduku cahaya.
Dari diri berlepotan dosa ini kupekikkan rasa cintaku
hingga lengking asmaraku cahaya.

Di relung bulan penuh cahaya ini, ya Ilahi Robbi,
aku saksikan ayat-ayat yang terpahat pada kitab bercahaya
Segala makrifat bercahaya
Segala isyarat bercahaya
Aku pun mandi cahaya
Dalam cahaya benderang kian tampak batin ini berjamur
Kalbu ini dilekati benalu.
Jasad ini berlepotan debu
Darah mengalirkan nafsu

Bulan penuh cahaya
membongkar kenyataan-kenyataan yang sangat menyakitkan:
rinduku pada-Mu begitu mudah dipermainkan angin lalu
cintaku pada-Mu serasa tak lahir dari rahim Iradat-Mu
jiwa ini La Ilaha Ilallah fanafanafanafanafana terasa
raga ini berlepotan noda.

Ya, Allah
jangan Kausiksa aku dengan cahaya benderang menyilaukan
Aku tak sanggup menyangga mata yang liar tak terkendali.
Aku tak sanggup menyangga lidah yang menyebar fitnah;
Aku tak sanggup mengolah alam pikir dan dzikir atas ridha-Mu
rasa dan jiwa berhiaskan pengharapan semu
Sugguh, aku tersiksa oleh terang cahaya-Mu!

Cahaya benderang-Mu, ya Allah,
telah mempermalukan aku.
Seperti Chairil Anwar, “ Aku hilang bentuk remuk”
“Aku mengembara di negeri asing”
tapi sayang, “Aku tak bisa berpaling”

Ya, Allah, rasanya aku tak layak berfatwa
seperti Rabiah Al-Adawiyah yang dengan sikap rendah hati,
tulus dan tanpa pamrih dalam doanya meminta :
”Jika aku berdoa mengharapkan terbukanya pintu sorga, ya Allah
maka masukkanlah aku di liang neraka hingga neraka penuh oleh dosa-dosaku
dengan begitu orang-orang lain leluasa dapat masuk ke dalam sorga.”

kini aku benar-benar menggelinjang sendiri
Sendiri dipanggang api cahaya-Mu
abadi mendekap luka-luka ini

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri
9/6/2010

Ari Setya Ardhi


Ari Setya Ardhi

(Jambi)



Lahir di Jakarta, 31 Mei 1967. banyak menulis puisi, cerpen maupun esei budaya di berbagai media daerah dan nasional. Atologi tunggalnya Sajak Matahari, Etude, Opus, dan Mentora. Sajak lainnya terhimpun sekitar 40-an kumpulan puisi bersama. Di antaranya, Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka Jakarta), Dari Negeri Poci 3 (Yayasan Tiara Jakarta), Cerita dari Hutan Bakau (Pustaka Sastra Jakarta), Zamrud Katulistiwa (Pusat Bahasa Yogyakarta), Puisi Indonesia (Angkasa Bandung), Batu Beramal 1 (HP3N Batu), Dari Bumi Lada (DK Lampung), Ning (Bali,2002), Gra-Gra (YMS), Purnama Kata (DK Bengkalis, 2003), Galanggang (DK Padang,2003), Buku Pilihan Riau Pos (2004), Teriakan Kota Bisikan Kata (DK Jakarta, 2004), dan lain-lain. Beberapa kali menang dalam lomba penulisan puisi dan esei Sebuah puisinya dijadikan prasasti di Makam Pahlawan Jambi Sultan Thaha di kabupaten Tebo. Dalam kesehariannya mengurusi sebuah harian di Jambi, disamping mengelola sebuah situs sastra berlabel Angsoduo. Salah Satu puisinya :

Menziarahi Diana

telah kuhirup udara yang pernah
menjadi bagian nafasmu. menatap
badai halimunan bermuka bundaran
Buchingham, kuistirahkan jejak
di atas tanahmu, menapaki berkas
senyum tergurat rapi beralas perisai
emas, bertahta abadi namamu.
Buchingham, trotoarmu itu
menengadahkan kebekuan. tak ada
bunga, juga kamboja. udara
dikemudikan derajat celcius, bertafakur
pucat. dingin menghantar
pusaramu, tanpa pelayat dan perkabungan
karena gemuruh waktu
saling berebut bela sungkawa ?

bermuka gerbang Buchingham,
dua serdadu lupa mengenalkan nama
kendati wajah mereka terekam dalam
kamera. paras cuaca semakin mendedahkan
slide-slide kebekuan pagar, menghantar
sketsa kecemasan tembok istana.
rumah penjara, berjeruji kabut itu,
mendenahkan keranuman wajahmu.
telanjang tiada bermahkota

patung ksatria masih terpancang disana,
membiarkan biografi berloncatan
di atas kereta. pepohonan dingin
berdesau gigil di kejauhan.
Big Ben berdentang.
detak jarum jam mengusikmu
Big Ben bersimaharaja,
derap jantung waktu memanggilku ?

ah, lupakan impian sampanye
yang selalu menunda kebenaran
biar almanak bersahutan
di belantara kota laba-laba.
kemudian, melepas
jaring keabadian memerangkap cahayamu.

Bohemian Buchingham London, 19 Januari 2005

EM.Yogiswara



EM. Yogiswara

(Jambi)

Lahir di Jambi. Alumnus S 1 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jambi, 1992. Puisi-puisinya termuat di beberapa antologi puisi bersama penyair se-Sumatera, Jawa dan Bali, serta Jambi sendiri.Sedangkan antologi puisi tunggalnya antara lain : Hidup (1991), Kau Lahir (1992), Perempuanku (1992), Gaung (1994), serta Soco (2001). Selain senantiasa berpameran seni rupa se-Sumatera serta di Galeri Nasional Jakarta pada pameran seni rupa seniman kelahiran dan keturunan Sumatera Barat. Memperkuat pergelaran dan festival teater di Jambi, Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Beberapa kali menyutradara pementasan terater, di antaranya Malam Pengantin di Bukit Kera (Montinggo Busye), Pakaian dan Kepalsuan, Bubrah (EM Yogiswara), Dari Sunyi ke Sunyi (EM Yogiswara), Asilban (Khalil Gibran), Si Buta (Khalil Gibran), dan banyak lagi. Pendiri Teater Art in Revolt (AiR) Jambi yang mengasuh Sanggar Sastra Siswa di SMA 3 Jambi, SMA Titian Teras, dan SMA Xaverius I, pernah diundang untuk membacakan sejumlah puisi di Malaka-Malaysia, serta Singapore Art Festival di Singapore. Saat ini dipercaya menjadi salah seorang redaktur di Harian Pagi Jambi Ekspres (Jawa Pos Group). Salah satu puisinya :


Belajarlah, Anakku Soco

belajarlah menangis, anakku soco
sebab kita sudah kehilangan air mata
sumur yang mengalirkan keadilan dan kesengsaraan
kini mengering
berubah warna menjadi sumber mata air berbisa
: tangis tak sepenuhnya menitikan bening
dari padang alam yang menyihirkan cahaya-Nya

belajarlah mendengar, anakku soco
sebab gendang telinga kita sudah tertusuk
desah duka, lapar, dan erangan
: suara tak selamanya ikhlas mendalilkan ujud

belajarlah membaca, anakku soco
sebab mata kita sudah kehilangan jarak
dari penaklukan sepenggal harapan
belajarlah merasa anakku soco
sebab kita telah dibina tanpa rasa
: perjalanan hanya tuk menyambut senyum

belajarlah, anakku soco
sebab kelahiran sudah lama tertunda
dihapus keping rindu tanpa rasa
: usah terapung di kegelapan dunia
sebab gelembung bayang tak kan terima cahaya

Iif Ranupane


Iif Ranupane

(Jambi)

Lahir di Kota Brebes. Awal decade 80 an, sarjana Agronomy ini bersama seniman Jambi mendirikan Teater Bohemian (1987). Menulis esei, artikel budaya, ekonomi, dan politik di beberapa media. Beberapa antologi puisi bersama seperti Riak-Riak Batanghari (1988), Percik Pesona (1992), Jejak (Kumpulan Penyair Sumbagsel, 1993), Muaro (1995), Sajak-Sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995), Ode (Sajak-Sajak Reformasi Penyair Sumbagsel, 1988), Disamping bidang sastra yang ia geluti, awal 1992 bersama Wiro A.Sanie mendirikan Musik Kamar, dan tahun 1994 disamping mengajar musik, dengan beberapa pengamen jalanan ia mendirikan Ndeso, sebuah kelompok musik balad yang aktif pentas sampai akhir tahun 2000. Pada tahun itu pula menjadi ketua umum Oi pusat, suatu Organisasi massa yang menghimpun para fans Iwan Fals di seluruh Indonesia. Mulai Agustus 2005 membentuk Sekte Balad yang mengiringinya pameran dan pentas keliling Oratorium Puisinya ke beberapa kota di Indonesia. Salah satu puisinya :

Jarak Ruang dan Waktu


tiba tiba aku melesat menembus dan menembus tegak lurus dengan mengabaikan resiko berhenti dengan kecepatan ribuan juta tahun cahaya bahkan lebih jangankan uranus atau nepturnus pluto pun sudah aku lewati hingga aku tak lagi melihat adanya warna dan cahaya seperti di bumi sementara cahaya matahari pun sudah hilang dari pandangan fungsi dan keperkasaan panasnya matahari tak lagi berpengaruh apa apa matahari hilang keberadaannya matahari tak kuperhitungkan lagi


entah berapa ribu juta jarak galaksi telah aku lewati entah berapa ribu juta waktu ke waktu telah aku tinggalkan entah berapa ribu juta ruang atmosfir telah aku jelang ketika aku memandang jauh ke belakang mataku tak menemukan sesuatupun yang kumengerti bumi matahari dan seluruh planet yang mengelilinginya hanya tinggal dalam ingatan sementara aku masih terus melesat menembus dan menembus tegak lurus dengan mengabaikan resiko berhenti dengan kecepatan ribuan juta tahun cahaya bahkan lebih meski telah begitu jauh aku melesat belum juga aku temukan batas akhirmu batas jarah ruang dan waktu

wahai jarak ruang dan waktu dimanakah titik awal dan akhirmu apakah engkau menempati dan melewati segala yang ada dan segala yang tak ada menembus gugusan tata surya alam semesta apakah engkau diciptakan tuhan sama sepertiku mahluk dan benda benda fana lainnya berawal dan berakhir aku terkungkung dalam kefanaanku di balik satu atmosfir selalu ada atmosfir yang lain meski aku telah menembus dari satu lapisan

atmosfir ke lapisan atmosfir yang lain ternyata aku masih berada di dalam aku tak pernah bisa ke luar aku terkungkung dalam keterasingan

dengan kedua telapak tanganku aku hanya bisa bersujud perlahan kutarik nafasku dalam dalam sayup aku mendengar bisikan yang datang entah dari mana sedikitpun aku tak sanggup memahami maknanya sementara batinku masih terus bertanya tanya dimana batas jarak ruang dan waktu yang tak berawal tak berujung dan tak berkesudahan itu dengan kedua telapak kakiku ternyata aku harus berjalan bukan seperti burung yang terbang ke gigir cakrawala atau menyelam seperti ikan ke dasar lautan tapi berjalan seperti manusia membebaskan kegelapan dan segala keraguan dengan mata hatiku perjalanan adalah padang tanpa batas tuju dengan iman dan keyakinanku aku akan terus berjalan menuju rabbMu

199

Muhammad Husyairi


Muhammad Husyairi

(Jambi)

Lahir di Muara Sabak, 17 September 1973. Manuskrip sendiri: Lepas (1995), darah (1996), Rekontruksi (1997), Surat Cinta Lelaki Terakhir Sehabis Berjanji (2004), Kabar Dari Jendela Basah (2004). Pernah hampir kuliah di Unja (Kimia), STSI Padang Panjang (Teater), STSI Bandung (Teater). Telah membacakan sajak-sajaknya diberbagai kota di Indonesia, diantaranya: Medan (TBM, 1998), Padang (TBP, 1996), Riau (Dang Merdu, 1996), Jambi sekitarnya (1995, 1997, 2004) Palembang (RRI, 1998), Bengkulu (T. Andung, 2004), Lampung (TBL, 1998), Jakarta (PDH, 2000), Semarang, Magelang (Asrama ABRI, 1998), Yogyakarta (ISI, 2002), Surabaya (Dolly, 2001), Bandung (STSI 1999, Rumah Nusantara 2004), Indramayu (SMU 2, 2004), Plores (Ruteng, 2000), Palu 1995, Kalimantan (Bukit Rawi, 1995), dan desa-desa kecil lainnya di Indonesia. Pekerjaannya; Menulis Artikel, Essei budaya dan karya sastra. Pernah dipublikasikan di media daerah dan Jakarta, anataranya : Jambi Ekspress, Posmetro, Kompas,Republika, Singgalang dan lain-lain. Pernah menjadi kolumnis di media harian Jambi Independent. Sutradara teater Oranye, Mengasuh Komuni Sastra Ce’gu, serta penulis lepas. Sekarang kolomnis diharian Pos Jambi. Salah satu puisinya :

Pacarku Hans
: dalam kenangan Hamid Djabar

pacarku sudah sore di puri dua
dekat simpang rimbo terminal baru
jalan pulang yang kelelahan, hasrat kita
telah jadi berita kepergian, dari koran pagi
aku berangkat dengan airmata
sesore ini, jalan pulang seperti lelaki asia
berjalan dalam keremangan lampu taman
dan pohon-pohon kering, langkah kita yang tertunda

pacarku amarah dan kesedihan perempuan melayu
cara cinta yang menakutkan dalam sebuah perjalanan
pulang dan pergi seperti diam, di pemberhentian
kita kenal peristiwa barisan kaki pucat
pada malam naas itu ; satu sajakmu melambai, tubuhmu
bergetar seperti lelah, hans di sana. anak sulung yang
kecewa di matamu.
hans berarti hidup di negeri penjajah, pacarku

sejarah taman ini, sebuah terminal baru dengan keberangkatannya

Jambi, 2005

Yupnical Seketi


Yupnical Seketi

(Jambi)

Penyair bertopeng ini lahir di Kerinci (Jambi), 15 Juni 1976. Setelah kuliah di PBS Bahasa Inggris FKIP Universitas Jambi (Unja), karyanya baru tertata dengan baik. Sosok unik yang di hadapan publik seni senantiasa mengenakan topeng mirip superhero fiksi Zorro atau Batman, adalah seniman multi-genre. Karyanya terangkum dalam antologi bersama Harimau Sumatera (cerpen, 2001), Dari Kedondong Sampai Tuah (cerpen, 1999), Lahir (puisi, 1999), Mengenang HM Sabki (puisi,1998), Rakit Biru (puisi,1997), dan Midle (puisi,2002), Antologi Penyair Sumatera 2005 (puisi,2005), CD Puisi Pariwisata Jambi di Mata Penyair (deklamasi, 2005). Di media cetak tersebar antara lain SKH Sriwijaya Post, Jambi Independent, Jambi Ekspress, dan lain-lain. Penyair bertopeng ini adalah aktor, penulis naskah dan sutradara, juga pernah belajar cinematografi dan dipercaya menggarap beberapa fragmen drama TVRI Jambi. Diseni rupa sering mengadakan pameran lukisan baik di dalam maupun di luar Jambi .Di bidang musik aktif musik tradisi dan balada. Dan banyak lagi kegiatan seni yang digelutinya. Kesehariannya bekerja di Harian Kriminal Posmetro Jambi. Salah satu puisinya :


Membuka Jendela


E

A G

F T L B

Z U R X C N D I

O S H J M Q Y F K P W

A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z

a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z

ejalah, karena ternyata tidak banyak yang mau, mampu dan sudi,

ketika jendela sudah terbuka begitu lebar, sampai rembulan dan

matahari bisa masuk kamar, lalu tidur di situ, di atas birahi. apa

saja, tersirat atau tersurat, benda atau makna. karena sebagai

manusia kita pasti tak sudi jalan meraba, dan hatipun bengkak

j a d i b a d a k



Cannnaku-Jambi, 27/07/05