Selamat datang di Kawasan Penyair Jambi Terima kasih atas kunjungan Anda

Selasa, 06 April 2010

Jumardi Putra,


Lahir pada tanggal 28-03-1986 di Jambi. Tahun 2007-2008 menjadi Wakil Pemimpin Umum LPM ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis di Majalah ARENA Yogyakarta, Al-Madina di Surabaya. Tahun 2007-2008, pernah menjadi editor Majalah Kajanglako (Media Komunikasi Pelajar Jambi Yogyakarta). Tahun 2008, menjadi peresensi terbaik oleh penerbit buku Gama Media, Hikayah Publishing dan Khatulistiwa di Yogyakarta. Pada tahun 2008 juga, menjadi pemenang resensi ketiga oleh penerbit buku Fahima Yogyakarta.
Tahun 2008-2009., menjadi editor di penerbit buku Annora Media Group di Yogyakarta.
Kegiatan kini, membacakan puisi di beberapa kegiatan kebudayaan. Pengajar Teknik Menulis di beberapa kelompok remaja di Jambi. Staf Pengajar di Pondok Pesantren Modern Darussalam, Muara Bungo-Jambi, sekaligus menjadi Pemimpin Umum ‘Darussalam Pers’ Pon-Pes Modern Darussalam, Bungo-Jambi.

Puisinya :

Aku untuk Indonesiaku

Pekerjaanku adalah pengembaraan
Menjelajahi lorong dan persimpangan kelam yang tak terjamah
Tak ada yang kubangun secara fisik
Ibu pertiwi, izinkan aku menyusuri belantara kegelapan itu

Perjalananku adalah kesendirian
Memungut butir-butir mutiara kehidupan
Mengikat erat dalam kesatuan
Siapalah aku, raga-jiwa yang terkadang dibuang dalam jurang kehampaan
Ibu Pertiwi, kuatkan aku
Menggugah hati yang alfa itu

Istirahatku adalah kegelisahan
Membuang ketidakpedulian
Mengiring pada kepekaan yang bertanggung jawab
Ibu Pertiwi
Dampingi aku, menyulut api-api perlawanan itu

Aku bukanlah siapa-siapa
Terbuang sering dalam luka
Ibu pertiwi, ini adalah kenyataan
Harapan berlawanan dengan hati dan pikiran yang galau.

2010.


Menemuimu di Tepi Sungai Tak Bernama

Aku telah siap kembali ke dunia
Menjadi bagian inti darinya

Aku merdeka atas raga dan jiwa
Terbang tinggi menggapai pucuk-pucuk yang tak tergapai

Tetap tegar menjemput bahagia
Walau sedih terus mengiris dan mengikis

Menjemput semesta rindu pada yang dicari
Menyertai alam se isinya aku pergi dan mengembara

Menemuimu di tepi sungai tak bernama
dalam isak tangis yang tak menganggu
Memeluk erat dalam lamunan rindu
dalam impian yang tak mengenal ruang dan waktu
Menjadi burung-burung yang rindu pada rindang
dalam dzikir yang tak berbilang

Padamu aku menagih kasih yang pernah kutitipkan
Padamu aku mendaki bukit harapan walau harus jatuh berulang kali
Padamu aku mengarungi danau
walau harus tertatih dalam lumpur yang menyelimuti badan

Tapak-tapak pengembaraanku adalah prasasti yang harus kau ketahui
agar langkahmu juga langkahku
agar rindu yang kucari menyertai hari-harimu
agar esok, tanpa harus bertemu, kita menyatu

Di tepi sungai tak bernama itu
Aku menangis sembari memahat Anak Kata-kata;
Rinduku padamu adalah dzikir yang tak mampu membutir
dalam seutai tali tasbih yang sempurna.
Selalu terputus.
Walau hati memekik keras, karena rindu tak mengenal putus dan jeda.

Gumawang, 2010.


Rinduku Padamu di Jalur Gaza

Jangan ada lagi peperangan di kota ini
karena aku sudah merasakannya

Siang-malam adalah kegelapan
Tubuh-tubuh berselimut darah
Wajah-wajah renta penuh getir
Tangis bayi menyaingi desir peluru

Hei Pemuda-pemuda di Jalur Gaza
Musnahkan peluru-peluru itu
Tanamkan dalam-dalam
hingga tak tercium oleh paru-paru dan urat nadi generasi setelahmu

Hei Perempuan-perempuan gurun
Kau hanya perlu memiliki keberanian untuk mengungkapkan
Bahwa kehidupan diberikan untuk saling mengerti dan mengisi

Bencilah pada kematian tanpa sebab
Cintailah kehidupan yang berarti
Habis gelap terbitlah cahaya
Tangkaplah cahaya itu,
sisi gelapnya kau lianglahatkan

Pada yang damai aku memuja dan menunggu
Pada yang sejahtera aku berharap

Hei Bocah-bocah kecil di Jalur Gaza
Kembalilah ke bangku sekolah
Tunjukkan pada Gurumu, kehidupan terus berlanjut

Rinduku padamu di Jalur Gaza
dalam kasih yang tak mengenal batas.

Gumawang, 2010.


Keyla, Revolusi baru saja Mulai

Gemulai tubuhmu memecah kabut malam
Kerikil-kerikil pasir di jalanan mendesah rindu
Syairmu mengoyak kegelapan
menandingi cerai merai senja yang luka

Lagumu adalah sabda
Ragamu bersandar dalam jiwa-jiwa
Malam-malam hidup penuh gelora

Keyla
Wewangianmu sanggup menjemput fajar
Bau badanmu mendulang asmara
Menyulut api-api pembebasan

Keyla
Sampai kapan lagu itu kau dendangkan
Bukankah revolusi baru saja mulai
Di subuh itu, peluru memakan korban

Keyla
Dalam senggama yang tidak selesai
Kau riakkan ombak-ombak perlawanan.

Gumawang, 2010.


Raga Rapuh tak Bersandar

Langit sendu tiada butir-butir menderang
Gumintang enggan menampakkan raga
Angin malam istirahat panjang
Dedaunan layu tak bergairah seru
Padi-padi berayun lesu
Menandingi malu lagu-lagu binatang malam

Malam begitu lama pulang
Hujan lebat berkumandang
Bulan hadir setengah badan
Deru debu memanggil kesunyian
Malam jatuh dalam diam

Praja
Kupeluk senja tanpa nada
Kukecup paroh malam tanpa irama
Malam mendera kaku begitu saja

Praja, denganmu, raga rapuh tak bersandar

Gumawang, 2010.


Pada hidup kita mesti berarti

Terbanglah setinggi-tingginya
Berjalanlah sejauh niat bergumam
Bercocok tanamlah di bumi persoalan

Pengabdian adalah cinta yang patut
Menelusuri lorong-lorong yang berdetak kencang
Menemani gurindam alam

Menelanjangi kejumudan
Melapisi raga dengan harapan
Cintailah kemaslahatan

Senja akhir di Gumawang
Bersama padi bersemayam rendah hati
Maju menantang sebab
Menjemput hidup yang dituju

Ayo kawan
Pecahkan sesak-sesak ketidakseimbangan itu

Gumawang, 2010.


Penguasaku, Bilamana air ludah ini kian asin

Menjelang perayaan
Kau mendadak sadar
Di perbatasan hutan itu adalah rakyatmu

Kau gemar turun ke sawah-sawah
Menggunakan pakaian kebesaran
Bercocok tanam di depan tamu undangan
Menunggu gemuruh tepuk tangan yang dibayar

Kau turun ke pasar-pasar
Bersalaman ke setiap penjual
Bertanya banyak hal
Membeli mesti tak ada kembalian

Penguasaku
Di paroh malam
Rumah-rumah panggung itu menari-nari
Karena persoalan perut yang belum teratasi
Penguasaku
Kenapa kau begitu yakin
Kematian mendadak di senja itu adalah rakyatmu

Penguasa
Berulangkali mereka mempercayaimu
Sepanjang itu kau menodainya
Kepercayaan yang diberikan padamu
Sejatinya bayi suci dalam kandungan tanpa noda

Penguasaku
Mesti bagaimana lagi kami mempercayaimu
Bilamana air ludah ini kian asin
Pabila bibir-bibir ini kering tak berasa

Penguasaku
Sejatinya apa yang kau lakukan
Jikalau Tuhan mencintai pemimpin
yang mendahului kebutuhan rakyatnya
Penguasaku
Pabila tangis mereka adalah darah
Sudikah engkau berubah
Moga tidak, karena air mata mesti bening seperti sediakala

2010