Selamat datang di Kawasan Penyair Jambi Terima kasih atas kunjungan Anda

Senin, 28 Maret 2011

Ramayani


Ramayani, perempuan Indonesia yang lahir di Jambi pada tahun 1978 tanggal 25 Agustus. Menyelesaikan Studi SI Bahasa Inggris Di FKIP Universitas Jambi pada tahun 2003. Bekerja sebagai guru di sebuah sekolah di kabupaten Tebo Provinsi Jambi dan kini sedang ditugas belajarkan oleh Pemerintah setempat untuk melanjutkan studi S2 nya pada program Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang (UNP), dengan konsentrasi Manajemen Sekolah, Jurusan Administrasi Pendidikan.

Karya-karya telah dipublikasikan media masa dan pada antalogi bersama seperti 142 Penyair Menuju Bulan, Jalan Bersama Pejabat Penyair dan Tanah Pili h dan juga pada antologi tunggalnya yaitu Sebungkus kenangan

Ia Aktif berkesenian baik sebagai peran pemain teater dan penggiat teater, deklamator dan juga penyelenggara event-event kesenian di Jambi. Pernah tergabung pada Sanggar Kampus Teater Oranye Jambi, Teater Tonggak, Teater Oranye Tak terhingga, dan kini ia mencoba berbuat untuk kesenian dalam kantong seni Tebo Art Community. Dan kini ia mencari teman dalam damai dengan puisi-puisinya.

Ia mencoba mendokumentasikan sebagian perjalanan kehidupa lewat puisi-puisi juga mencoba merekam berbagai pengalaman dalam puisi-puisinya. Ia mencoba berkomunikasi degan kehidupan, lewat kata-kata sederhana tetapi memeiliki makna yang dalam sebagai bentuk ekspresinya, yang juga menjadi sahabat dalam keksibukan hari-hari. Ia ingin mencari makna dalam kehidupan, sebagai proses menuju kedewasaan, yang juga memotivasi dirinya dalam kesadaran sebagai manusia yang utuh.


Pesan Air Susu Ibu 1

telah terbiasa sudah
pesan air susumu mendarah daging
pada setiap langkahku

aku akan selalu mencoba dan belajar
tuk menjadi diri yang sempurna
berjalan pada rel kehidupan
dengan bimbingan kebenaran dalam kejujuran

tersenyum dalam hidup
dan mendapat dengan keringat
menjaga diri
dari kemanusiaan yang mencemaskan

Jambi, 2003


Sapamu

Dibalik hijaunya dedaunan itu
ada bisik angin
yang ingin selalu berkata dan menyapa
dari baringan panjang cerita singkat
yang penuh dengan kenangan

Embun masih tersisa
berupa butir butir kata
menjelma puisi romansa muara jambi
karena matahari semakin sempurna
oleh tanggung jawabnya

Aku ingin selalu kau sapa
apakah wajahku masih terselip
di antara sudut ruang mu?
apakah rambut coklatku masih tergerai di dadamu
matamu begitu dalam
sedalam kenangan batanghari yang kita lalui

Mata kita terlalu hanyut pada garis pinggiran sungai itu
dan terus mengalir dalam getaran
sepasti genggaman tanganmu
mendekap jemari tanganku kaku
tapi berdegup kencang
melawan arus sungai yang dilalui perahu kita

Sesekali speedboat begitu perkasa
mengganggu genangan riak hati kita
kau semakin berkeliaran di hatiku

Muara Tebo, 2008


Aku Merasakan Wanginya Cinta

Aku merasakan wanginya cinta di sini
pada pohon pohon karet yang setiap pagi berbaris
mengadah senyumannya
menyambut pagi pada renyahnya geraian daunnya
memberi cinta yang putih dan semakin mengental
memberi nikmat pada petani
menimbang getah setiap pekan
mengantar senyum keluarga yang menanti

Aku merasakan wangi cinta di sini
di sepanjang pasar pekan yang menjajakan rasa
mengantar riang para ibu
di balik tawar menawar

aku merasakan wangi cintanya
dari rasa yang selalu terjaga oleh ketulusan
pagi memberikan kepolosan cintanya
dan aku merasakan wanginya
dan itu yang membuat mereka ada

Jambi, 2008


DINNER

Lilin lilin berdiri di sudut jamuan
teteskan satu persatu pesan rindu

pertemuan menimbang rempah
meluap gelombang lada dalam dada

lilin lilin berdiri di sudut jamuan
membara pada bibir yang gemetar

detak detik doa menitik di dada
hangat dalam genggam tangan kekasih

lilin lilin berdiri di sudut jamuan
bergelora di manisnya anggur merah

lilin lilin berdiri di sudut jamuan
memeriahkan jamuan rasa kita

2010


Percakapan angin

kepada langit senja yang menguning aku bertanya
di mana matamu dulu nan pasti melihat rindu
kini butiran hujan pecah ke bumi
lepaskan serpihan aspal jalanan yang licin

anganmu tampak lambai percakapan lewati rumahku
pertanyaan hanya mampir dan lalu lalang di muka pintu
terkadang singgah di jendela tanpa ada jawaban pasti

terlihat langit bagikan cahaya
lalu menabur butiran hujan
saat jam masih setia bangunkan azan
tinggalkan lelap di pelukan

aku jalani hari hingga malam medatangkan bintang
dan bulan jadi tanda menemaniku bercumbu di adegan pasti,
memeluk yang kan kugapai tanpa percakapan angin
dari janji gagumu

2009


Aku Ingin Mencium Bau Adam

Aku ingin mencium bau adam
Dalam birahi yang selalu perkasa
Membentang dada menyambutku dalam pelukan hangat
Dan segalanya akan menjadi begitu indah
Rona mawar tersungging dibibirku
Menyusun rapi harapan harapan baru
Tak mesti lelah dalam berhayal melulu
Aku menanti waktu yang tertunda
Dimana bendera kebersamaan yang abadi berkibar perkasa
Disetiap jalan
Cinta memang tak selamanya pahit,tak selamanya indah
Dan juga tak selamanya membingungkan
Cinta hanya pantas dijalani bagi manusia
yang selalu ingin berbagi kesempatan
dan selalu ingin melengkapi hidup
karna kita tak pernah selalu sempurna
bau adam dan hawa akan selalu pasti dalam cinta
akan selalu pasti pada sebuah ikatan bathin
yang dipersatukan dari segala kekurangan dan kepercayaan
aku ingin mencium bau adam
dari sebuah kenyataan
bahwa cinta itu memang nyata adanya
dan selalu bermekaran dihati
hingga pantas untuk selalu dikenang

Bohemian Jambi, Dec 23,2004

Selasa, 06 April 2010

Jumardi Putra,


Lahir pada tanggal 28-03-1986 di Jambi. Tahun 2007-2008 menjadi Wakil Pemimpin Umum LPM ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis di Majalah ARENA Yogyakarta, Al-Madina di Surabaya. Tahun 2007-2008, pernah menjadi editor Majalah Kajanglako (Media Komunikasi Pelajar Jambi Yogyakarta). Tahun 2008, menjadi peresensi terbaik oleh penerbit buku Gama Media, Hikayah Publishing dan Khatulistiwa di Yogyakarta. Pada tahun 2008 juga, menjadi pemenang resensi ketiga oleh penerbit buku Fahima Yogyakarta.
Tahun 2008-2009., menjadi editor di penerbit buku Annora Media Group di Yogyakarta.
Kegiatan kini, membacakan puisi di beberapa kegiatan kebudayaan. Pengajar Teknik Menulis di beberapa kelompok remaja di Jambi. Staf Pengajar di Pondok Pesantren Modern Darussalam, Muara Bungo-Jambi, sekaligus menjadi Pemimpin Umum ‘Darussalam Pers’ Pon-Pes Modern Darussalam, Bungo-Jambi.

Puisinya :

Aku untuk Indonesiaku

Pekerjaanku adalah pengembaraan
Menjelajahi lorong dan persimpangan kelam yang tak terjamah
Tak ada yang kubangun secara fisik
Ibu pertiwi, izinkan aku menyusuri belantara kegelapan itu

Perjalananku adalah kesendirian
Memungut butir-butir mutiara kehidupan
Mengikat erat dalam kesatuan
Siapalah aku, raga-jiwa yang terkadang dibuang dalam jurang kehampaan
Ibu Pertiwi, kuatkan aku
Menggugah hati yang alfa itu

Istirahatku adalah kegelisahan
Membuang ketidakpedulian
Mengiring pada kepekaan yang bertanggung jawab
Ibu Pertiwi
Dampingi aku, menyulut api-api perlawanan itu

Aku bukanlah siapa-siapa
Terbuang sering dalam luka
Ibu pertiwi, ini adalah kenyataan
Harapan berlawanan dengan hati dan pikiran yang galau.

2010.


Menemuimu di Tepi Sungai Tak Bernama

Aku telah siap kembali ke dunia
Menjadi bagian inti darinya

Aku merdeka atas raga dan jiwa
Terbang tinggi menggapai pucuk-pucuk yang tak tergapai

Tetap tegar menjemput bahagia
Walau sedih terus mengiris dan mengikis

Menjemput semesta rindu pada yang dicari
Menyertai alam se isinya aku pergi dan mengembara

Menemuimu di tepi sungai tak bernama
dalam isak tangis yang tak menganggu
Memeluk erat dalam lamunan rindu
dalam impian yang tak mengenal ruang dan waktu
Menjadi burung-burung yang rindu pada rindang
dalam dzikir yang tak berbilang

Padamu aku menagih kasih yang pernah kutitipkan
Padamu aku mendaki bukit harapan walau harus jatuh berulang kali
Padamu aku mengarungi danau
walau harus tertatih dalam lumpur yang menyelimuti badan

Tapak-tapak pengembaraanku adalah prasasti yang harus kau ketahui
agar langkahmu juga langkahku
agar rindu yang kucari menyertai hari-harimu
agar esok, tanpa harus bertemu, kita menyatu

Di tepi sungai tak bernama itu
Aku menangis sembari memahat Anak Kata-kata;
Rinduku padamu adalah dzikir yang tak mampu membutir
dalam seutai tali tasbih yang sempurna.
Selalu terputus.
Walau hati memekik keras, karena rindu tak mengenal putus dan jeda.

Gumawang, 2010.


Rinduku Padamu di Jalur Gaza

Jangan ada lagi peperangan di kota ini
karena aku sudah merasakannya

Siang-malam adalah kegelapan
Tubuh-tubuh berselimut darah
Wajah-wajah renta penuh getir
Tangis bayi menyaingi desir peluru

Hei Pemuda-pemuda di Jalur Gaza
Musnahkan peluru-peluru itu
Tanamkan dalam-dalam
hingga tak tercium oleh paru-paru dan urat nadi generasi setelahmu

Hei Perempuan-perempuan gurun
Kau hanya perlu memiliki keberanian untuk mengungkapkan
Bahwa kehidupan diberikan untuk saling mengerti dan mengisi

Bencilah pada kematian tanpa sebab
Cintailah kehidupan yang berarti
Habis gelap terbitlah cahaya
Tangkaplah cahaya itu,
sisi gelapnya kau lianglahatkan

Pada yang damai aku memuja dan menunggu
Pada yang sejahtera aku berharap

Hei Bocah-bocah kecil di Jalur Gaza
Kembalilah ke bangku sekolah
Tunjukkan pada Gurumu, kehidupan terus berlanjut

Rinduku padamu di Jalur Gaza
dalam kasih yang tak mengenal batas.

Gumawang, 2010.


Keyla, Revolusi baru saja Mulai

Gemulai tubuhmu memecah kabut malam
Kerikil-kerikil pasir di jalanan mendesah rindu
Syairmu mengoyak kegelapan
menandingi cerai merai senja yang luka

Lagumu adalah sabda
Ragamu bersandar dalam jiwa-jiwa
Malam-malam hidup penuh gelora

Keyla
Wewangianmu sanggup menjemput fajar
Bau badanmu mendulang asmara
Menyulut api-api pembebasan

Keyla
Sampai kapan lagu itu kau dendangkan
Bukankah revolusi baru saja mulai
Di subuh itu, peluru memakan korban

Keyla
Dalam senggama yang tidak selesai
Kau riakkan ombak-ombak perlawanan.

Gumawang, 2010.


Raga Rapuh tak Bersandar

Langit sendu tiada butir-butir menderang
Gumintang enggan menampakkan raga
Angin malam istirahat panjang
Dedaunan layu tak bergairah seru
Padi-padi berayun lesu
Menandingi malu lagu-lagu binatang malam

Malam begitu lama pulang
Hujan lebat berkumandang
Bulan hadir setengah badan
Deru debu memanggil kesunyian
Malam jatuh dalam diam

Praja
Kupeluk senja tanpa nada
Kukecup paroh malam tanpa irama
Malam mendera kaku begitu saja

Praja, denganmu, raga rapuh tak bersandar

Gumawang, 2010.


Pada hidup kita mesti berarti

Terbanglah setinggi-tingginya
Berjalanlah sejauh niat bergumam
Bercocok tanamlah di bumi persoalan

Pengabdian adalah cinta yang patut
Menelusuri lorong-lorong yang berdetak kencang
Menemani gurindam alam

Menelanjangi kejumudan
Melapisi raga dengan harapan
Cintailah kemaslahatan

Senja akhir di Gumawang
Bersama padi bersemayam rendah hati
Maju menantang sebab
Menjemput hidup yang dituju

Ayo kawan
Pecahkan sesak-sesak ketidakseimbangan itu

Gumawang, 2010.


Penguasaku, Bilamana air ludah ini kian asin

Menjelang perayaan
Kau mendadak sadar
Di perbatasan hutan itu adalah rakyatmu

Kau gemar turun ke sawah-sawah
Menggunakan pakaian kebesaran
Bercocok tanam di depan tamu undangan
Menunggu gemuruh tepuk tangan yang dibayar

Kau turun ke pasar-pasar
Bersalaman ke setiap penjual
Bertanya banyak hal
Membeli mesti tak ada kembalian

Penguasaku
Di paroh malam
Rumah-rumah panggung itu menari-nari
Karena persoalan perut yang belum teratasi
Penguasaku
Kenapa kau begitu yakin
Kematian mendadak di senja itu adalah rakyatmu

Penguasa
Berulangkali mereka mempercayaimu
Sepanjang itu kau menodainya
Kepercayaan yang diberikan padamu
Sejatinya bayi suci dalam kandungan tanpa noda

Penguasaku
Mesti bagaimana lagi kami mempercayaimu
Bilamana air ludah ini kian asin
Pabila bibir-bibir ini kering tak berasa

Penguasaku
Sejatinya apa yang kau lakukan
Jikalau Tuhan mencintai pemimpin
yang mendahului kebutuhan rakyatnya
Penguasaku
Pabila tangis mereka adalah darah
Sudikah engkau berubah
Moga tidak, karena air mata mesti bening seperti sediakala

2010

Minggu, 14 Oktober 2007

Dimas Arika Mihardja


Dimas Arika Mihardja

(Jambi)

Lahir, di Pesisir Selatan Jogyakarta, 3 Juli 1959 dengan nama Sudaryono, ia mulai menyajak secara intens tahun 1980-an dan membukukan antologi sajak tunggal Sang Guru Sejati (1991), Malin Kundang (1993), Upacara Gerimis (1994), Potret Diri (1997) yang semuanya diterbitkan oleh Bengkel Puisi Swadaya Mandiri. Sebagian besar sajaknya dipublikasikan di media massa local dan nasional, serta dibukukan dalam antologi bersama Riak-Riak Batanghari (Teater Bohemian,1988), Percik Pesona 1 & 2 (Taman Budaya Jambi,1992,1993), Serambi 1,2&3 (Teater Bohemian,1992, 1993, 1994), Rendezvous (1993), Luka Liwa (1993), Pusaran Waktu (1994), Muaro (1995). Negeri Bayang-Bayang (1996), Mimbar Penyair Abad 21, Antologi Puisi Indonesia (1997), Angkatan 2000 (2000), Ketika Jarum Jam Lelah Berdetak (2003). Penyajak yang juga dosen Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi ini telah merampungkan Program Doktor ( S3 ) dengan disertasi Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia (2002). Salah satu Puisinya:

Sajak Ibu Pertiwi

Sajak Ibu Pertiwi

“kulihat ibu pertiwi

sedang berduka hati ….”

dadanya diguncang gempa

hatinya dilanda tsunami

“kulihat ibu pertiwi

sedang berduka hati ….

gempaNya mengguncang dada

tsunamiNya melanda hati

“kulihat ibu pertiwi

sedang berduka hati ….”

dada gempaNya mengguncang sesiapa

hati tsunamiNya melanda apa saja

“kulihat ibu pertiwi

sedang berduka hati ….”

Indonesia bau, begitu kita berseru

Indonesia baru, berseteru melulu

“kulihat ibu pertiwi

sedang berduka hati …. “

bau Indonesia berseruseru

baru Indonesia begitu sendu

“kulihat ibu pertiwi

Sedang berduka hati …. “

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2005


Ballada Musyafir Gila
: arsyad indradi

ada musafir gila
berjalan sepanjang lorong kumuh
memimpikan denyut kehidupan:
puisi penuh keindahan

lihatlah, mantelnya kuyup oleh keringat semangat
padahal mentari di langit begitu menyengat
ia rebah di sofa merah
angin bangkit dan mengusik dengan kerisiknya
ia menyusun lembarlembar hatinya yang remuk
dan menatap tumpahan tinta hitam di lantai rumah
ia terbatuk dan terantuk
tapi gelegaknya berkata serak:
beri aku tuak sajak

hari ini kubuka paket berisi 142 penyair menuju bulan
jaketmu berlumuran darah kata
nafasmu tersengal, tapi kulihat tangan terkepal:
ajal, aku tak mau melayat langit

bengkel puisi swadaya mandiri, 2007-04-02

SEMATA CAHAYA
: anna noor

(menit meniti malam, kau berbisik pelan "tulis puisi untuk aku!"
lalu jemari puisi pun menari di cerlang cahaya
aku sungguh silau dan terpukau oleh kilau mata merindu
pada telapak tangan kurasakan denyut hidup
dan rembulan purnamakan doa-doa semesta)


Dalam gemilang bulan penuh cahaya
jemari menggelinjang sendiri:
menggelepar ditampar misteri Ilahi
Seperti baling-baling berputar
sejarah kembali mendaur ulang ibadah hingga sajadah pun
basah oleh kilau cahaya

Setiap kali berkaca pada bening hati kurasa
dinding-dinding hati bercahaya
baling-baling iman bercahaya
ranting-ranting doa bercahaya
Aku tak kuasa berkata-kata
tapi terasa lidahku cahaya
Bibirku cahaya. Mataku cahaya.
Pikirku cahaya. Rasaku cahaya.
Jiwaku cahaya. Dinding hatiku cahaya.
Keping rinduku cahaya. Lengking cintaku cahaya!

Ya, Allah pencipta bulan penuh cahaya
Akankah Kaupelihara lidah cahaya ini, bibir cahaya ini,
mata cahaya ini, pikir cahaya ini, rasa cahaya ini
jiwa cahaya ini?
Dari hari ke hari kususun batu-batu iman
hingga dinding-dinding hatiku cahaya.
Dari detik ke menit kususun remah kangenku
hingga keping rinduku cahaya.
Dari diri berlepotan dosa ini kupekikkan rasa cintaku
hingga lengking asmaraku cahaya.

Di relung bulan penuh cahaya ini, ya Ilahi Robbi,
aku saksikan ayat-ayat yang terpahat pada kitab bercahaya
Segala makrifat bercahaya
Segala isyarat bercahaya
Aku pun mandi cahaya
Dalam cahaya benderang kian tampak batin ini berjamur
Kalbu ini dilekati benalu.
Jasad ini berlepotan debu
Darah mengalirkan nafsu

Bulan penuh cahaya
membongkar kenyataan-kenyataan yang sangat menyakitkan:
rinduku pada-Mu begitu mudah dipermainkan angin lalu
cintaku pada-Mu serasa tak lahir dari rahim Iradat-Mu
jiwa ini La Ilaha Ilallah fanafanafanafanafana terasa
raga ini berlepotan noda.

Ya, Allah
jangan Kausiksa aku dengan cahaya benderang menyilaukan
Aku tak sanggup menyangga mata yang liar tak terkendali.
Aku tak sanggup menyangga lidah yang menyebar fitnah;
Aku tak sanggup mengolah alam pikir dan dzikir atas ridha-Mu
rasa dan jiwa berhiaskan pengharapan semu
Sugguh, aku tersiksa oleh terang cahaya-Mu!

Cahaya benderang-Mu, ya Allah,
telah mempermalukan aku.
Seperti Chairil Anwar, “ Aku hilang bentuk remuk”
“Aku mengembara di negeri asing”
tapi sayang, “Aku tak bisa berpaling”

Ya, Allah, rasanya aku tak layak berfatwa
seperti Rabiah Al-Adawiyah yang dengan sikap rendah hati,
tulus dan tanpa pamrih dalam doanya meminta :
”Jika aku berdoa mengharapkan terbukanya pintu sorga, ya Allah
maka masukkanlah aku di liang neraka hingga neraka penuh oleh dosa-dosaku
dengan begitu orang-orang lain leluasa dapat masuk ke dalam sorga.”

kini aku benar-benar menggelinjang sendiri
Sendiri dipanggang api cahaya-Mu
abadi mendekap luka-luka ini

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri
9/6/2010

Ari Setya Ardhi


Ari Setya Ardhi

(Jambi)



Lahir di Jakarta, 31 Mei 1967. banyak menulis puisi, cerpen maupun esei budaya di berbagai media daerah dan nasional. Atologi tunggalnya Sajak Matahari, Etude, Opus, dan Mentora. Sajak lainnya terhimpun sekitar 40-an kumpulan puisi bersama. Di antaranya, Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka Jakarta), Dari Negeri Poci 3 (Yayasan Tiara Jakarta), Cerita dari Hutan Bakau (Pustaka Sastra Jakarta), Zamrud Katulistiwa (Pusat Bahasa Yogyakarta), Puisi Indonesia (Angkasa Bandung), Batu Beramal 1 (HP3N Batu), Dari Bumi Lada (DK Lampung), Ning (Bali,2002), Gra-Gra (YMS), Purnama Kata (DK Bengkalis, 2003), Galanggang (DK Padang,2003), Buku Pilihan Riau Pos (2004), Teriakan Kota Bisikan Kata (DK Jakarta, 2004), dan lain-lain. Beberapa kali menang dalam lomba penulisan puisi dan esei Sebuah puisinya dijadikan prasasti di Makam Pahlawan Jambi Sultan Thaha di kabupaten Tebo. Dalam kesehariannya mengurusi sebuah harian di Jambi, disamping mengelola sebuah situs sastra berlabel Angsoduo. Salah Satu puisinya :

Menziarahi Diana

telah kuhirup udara yang pernah
menjadi bagian nafasmu. menatap
badai halimunan bermuka bundaran
Buchingham, kuistirahkan jejak
di atas tanahmu, menapaki berkas
senyum tergurat rapi beralas perisai
emas, bertahta abadi namamu.
Buchingham, trotoarmu itu
menengadahkan kebekuan. tak ada
bunga, juga kamboja. udara
dikemudikan derajat celcius, bertafakur
pucat. dingin menghantar
pusaramu, tanpa pelayat dan perkabungan
karena gemuruh waktu
saling berebut bela sungkawa ?

bermuka gerbang Buchingham,
dua serdadu lupa mengenalkan nama
kendati wajah mereka terekam dalam
kamera. paras cuaca semakin mendedahkan
slide-slide kebekuan pagar, menghantar
sketsa kecemasan tembok istana.
rumah penjara, berjeruji kabut itu,
mendenahkan keranuman wajahmu.
telanjang tiada bermahkota

patung ksatria masih terpancang disana,
membiarkan biografi berloncatan
di atas kereta. pepohonan dingin
berdesau gigil di kejauhan.
Big Ben berdentang.
detak jarum jam mengusikmu
Big Ben bersimaharaja,
derap jantung waktu memanggilku ?

ah, lupakan impian sampanye
yang selalu menunda kebenaran
biar almanak bersahutan
di belantara kota laba-laba.
kemudian, melepas
jaring keabadian memerangkap cahayamu.

Bohemian Buchingham London, 19 Januari 2005

EM.Yogiswara



EM. Yogiswara

(Jambi)

Lahir di Jambi. Alumnus S 1 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jambi, 1992. Puisi-puisinya termuat di beberapa antologi puisi bersama penyair se-Sumatera, Jawa dan Bali, serta Jambi sendiri.Sedangkan antologi puisi tunggalnya antara lain : Hidup (1991), Kau Lahir (1992), Perempuanku (1992), Gaung (1994), serta Soco (2001). Selain senantiasa berpameran seni rupa se-Sumatera serta di Galeri Nasional Jakarta pada pameran seni rupa seniman kelahiran dan keturunan Sumatera Barat. Memperkuat pergelaran dan festival teater di Jambi, Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Beberapa kali menyutradara pementasan terater, di antaranya Malam Pengantin di Bukit Kera (Montinggo Busye), Pakaian dan Kepalsuan, Bubrah (EM Yogiswara), Dari Sunyi ke Sunyi (EM Yogiswara), Asilban (Khalil Gibran), Si Buta (Khalil Gibran), dan banyak lagi. Pendiri Teater Art in Revolt (AiR) Jambi yang mengasuh Sanggar Sastra Siswa di SMA 3 Jambi, SMA Titian Teras, dan SMA Xaverius I, pernah diundang untuk membacakan sejumlah puisi di Malaka-Malaysia, serta Singapore Art Festival di Singapore. Saat ini dipercaya menjadi salah seorang redaktur di Harian Pagi Jambi Ekspres (Jawa Pos Group). Salah satu puisinya :


Belajarlah, Anakku Soco

belajarlah menangis, anakku soco
sebab kita sudah kehilangan air mata
sumur yang mengalirkan keadilan dan kesengsaraan
kini mengering
berubah warna menjadi sumber mata air berbisa
: tangis tak sepenuhnya menitikan bening
dari padang alam yang menyihirkan cahaya-Nya

belajarlah mendengar, anakku soco
sebab gendang telinga kita sudah tertusuk
desah duka, lapar, dan erangan
: suara tak selamanya ikhlas mendalilkan ujud

belajarlah membaca, anakku soco
sebab mata kita sudah kehilangan jarak
dari penaklukan sepenggal harapan
belajarlah merasa anakku soco
sebab kita telah dibina tanpa rasa
: perjalanan hanya tuk menyambut senyum

belajarlah, anakku soco
sebab kelahiran sudah lama tertunda
dihapus keping rindu tanpa rasa
: usah terapung di kegelapan dunia
sebab gelembung bayang tak kan terima cahaya

Iif Ranupane


Iif Ranupane

(Jambi)

Lahir di Kota Brebes. Awal decade 80 an, sarjana Agronomy ini bersama seniman Jambi mendirikan Teater Bohemian (1987). Menulis esei, artikel budaya, ekonomi, dan politik di beberapa media. Beberapa antologi puisi bersama seperti Riak-Riak Batanghari (1988), Percik Pesona (1992), Jejak (Kumpulan Penyair Sumbagsel, 1993), Muaro (1995), Sajak-Sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995), Ode (Sajak-Sajak Reformasi Penyair Sumbagsel, 1988), Disamping bidang sastra yang ia geluti, awal 1992 bersama Wiro A.Sanie mendirikan Musik Kamar, dan tahun 1994 disamping mengajar musik, dengan beberapa pengamen jalanan ia mendirikan Ndeso, sebuah kelompok musik balad yang aktif pentas sampai akhir tahun 2000. Pada tahun itu pula menjadi ketua umum Oi pusat, suatu Organisasi massa yang menghimpun para fans Iwan Fals di seluruh Indonesia. Mulai Agustus 2005 membentuk Sekte Balad yang mengiringinya pameran dan pentas keliling Oratorium Puisinya ke beberapa kota di Indonesia. Salah satu puisinya :

Jarak Ruang dan Waktu


tiba tiba aku melesat menembus dan menembus tegak lurus dengan mengabaikan resiko berhenti dengan kecepatan ribuan juta tahun cahaya bahkan lebih jangankan uranus atau nepturnus pluto pun sudah aku lewati hingga aku tak lagi melihat adanya warna dan cahaya seperti di bumi sementara cahaya matahari pun sudah hilang dari pandangan fungsi dan keperkasaan panasnya matahari tak lagi berpengaruh apa apa matahari hilang keberadaannya matahari tak kuperhitungkan lagi


entah berapa ribu juta jarak galaksi telah aku lewati entah berapa ribu juta waktu ke waktu telah aku tinggalkan entah berapa ribu juta ruang atmosfir telah aku jelang ketika aku memandang jauh ke belakang mataku tak menemukan sesuatupun yang kumengerti bumi matahari dan seluruh planet yang mengelilinginya hanya tinggal dalam ingatan sementara aku masih terus melesat menembus dan menembus tegak lurus dengan mengabaikan resiko berhenti dengan kecepatan ribuan juta tahun cahaya bahkan lebih meski telah begitu jauh aku melesat belum juga aku temukan batas akhirmu batas jarah ruang dan waktu

wahai jarak ruang dan waktu dimanakah titik awal dan akhirmu apakah engkau menempati dan melewati segala yang ada dan segala yang tak ada menembus gugusan tata surya alam semesta apakah engkau diciptakan tuhan sama sepertiku mahluk dan benda benda fana lainnya berawal dan berakhir aku terkungkung dalam kefanaanku di balik satu atmosfir selalu ada atmosfir yang lain meski aku telah menembus dari satu lapisan

atmosfir ke lapisan atmosfir yang lain ternyata aku masih berada di dalam aku tak pernah bisa ke luar aku terkungkung dalam keterasingan

dengan kedua telapak tanganku aku hanya bisa bersujud perlahan kutarik nafasku dalam dalam sayup aku mendengar bisikan yang datang entah dari mana sedikitpun aku tak sanggup memahami maknanya sementara batinku masih terus bertanya tanya dimana batas jarak ruang dan waktu yang tak berawal tak berujung dan tak berkesudahan itu dengan kedua telapak kakiku ternyata aku harus berjalan bukan seperti burung yang terbang ke gigir cakrawala atau menyelam seperti ikan ke dasar lautan tapi berjalan seperti manusia membebaskan kegelapan dan segala keraguan dengan mata hatiku perjalanan adalah padang tanpa batas tuju dengan iman dan keyakinanku aku akan terus berjalan menuju rabbMu

199

Muhammad Husyairi


Muhammad Husyairi

(Jambi)

Lahir di Muara Sabak, 17 September 1973. Manuskrip sendiri: Lepas (1995), darah (1996), Rekontruksi (1997), Surat Cinta Lelaki Terakhir Sehabis Berjanji (2004), Kabar Dari Jendela Basah (2004). Pernah hampir kuliah di Unja (Kimia), STSI Padang Panjang (Teater), STSI Bandung (Teater). Telah membacakan sajak-sajaknya diberbagai kota di Indonesia, diantaranya: Medan (TBM, 1998), Padang (TBP, 1996), Riau (Dang Merdu, 1996), Jambi sekitarnya (1995, 1997, 2004) Palembang (RRI, 1998), Bengkulu (T. Andung, 2004), Lampung (TBL, 1998), Jakarta (PDH, 2000), Semarang, Magelang (Asrama ABRI, 1998), Yogyakarta (ISI, 2002), Surabaya (Dolly, 2001), Bandung (STSI 1999, Rumah Nusantara 2004), Indramayu (SMU 2, 2004), Plores (Ruteng, 2000), Palu 1995, Kalimantan (Bukit Rawi, 1995), dan desa-desa kecil lainnya di Indonesia. Pekerjaannya; Menulis Artikel, Essei budaya dan karya sastra. Pernah dipublikasikan di media daerah dan Jakarta, anataranya : Jambi Ekspress, Posmetro, Kompas,Republika, Singgalang dan lain-lain. Pernah menjadi kolumnis di media harian Jambi Independent. Sutradara teater Oranye, Mengasuh Komuni Sastra Ce’gu, serta penulis lepas. Sekarang kolomnis diharian Pos Jambi. Salah satu puisinya :

Pacarku Hans
: dalam kenangan Hamid Djabar

pacarku sudah sore di puri dua
dekat simpang rimbo terminal baru
jalan pulang yang kelelahan, hasrat kita
telah jadi berita kepergian, dari koran pagi
aku berangkat dengan airmata
sesore ini, jalan pulang seperti lelaki asia
berjalan dalam keremangan lampu taman
dan pohon-pohon kering, langkah kita yang tertunda

pacarku amarah dan kesedihan perempuan melayu
cara cinta yang menakutkan dalam sebuah perjalanan
pulang dan pergi seperti diam, di pemberhentian
kita kenal peristiwa barisan kaki pucat
pada malam naas itu ; satu sajakmu melambai, tubuhmu
bergetar seperti lelah, hans di sana. anak sulung yang
kecewa di matamu.
hans berarti hidup di negeri penjajah, pacarku

sejarah taman ini, sebuah terminal baru dengan keberangkatannya

Jambi, 2005